BincangSyariah.Com – Sebagian masyarakat, khususnya muda-mudi mungkin masih memiliki kebiasaan duduk-duduk atau biasa disebut “nongkrong” di pinggir jalan. Sebagian melakukan itu kadang memang kondisi meniscayakan itu, misalnya mereka duduk di trotoar yang kadang di malam hari digunakan sebagian penjaja makanan atau minuman sebagai tempat duduk. Kadang ada juga yang melakukan “nongkrong” di pinggir jalan ini tanpa tujuan atau iseng. Kebiasaan duduk di
pinggir jalan ini kemudian disertai perilaku kurang baik, misalnya menggoda lawan jenis yang sedang lewat dan hal-hal buruk lainnya.
Tentang “nongkrong” di pinggir jalan ini, Nabi Muhammad Saw. pernah berpesan, yang diriwayatkan oleh Abu Sa’id al-Khudri radhiyallahu ‘anhu,
عنْ أَبِي سَعيدٍ الْخُدْرِيِّ t، عن النَّبِيِّ ﷺ قَالَ: إِيَّاكُم وَالْجُلُوسَ في الطُّرُقاتِ، فقَالُوا: يَا رسَولَ اللَّه، مَا لَنَا مِنْ مَجالِسنَا بُدٌّ، نَتحدَّثُ فِيهَا، فَقَالَ رسولُ اللَّه ﷺ: فَإِذَا أَبَيْتُمْ إِلَّا الْمَجْلِس فَأَعْطُوا الطَّريقَ حَقَّهُ، قالوا: ومَا حَقُّ الطَّرِيقِ يَا رسولَ اللَّه؟ قَالَ: غَضُّ الْبَصَر، وكَفُّ الأَذَى، ورَدُّ السَّلامِ، وَالأَمْرُ بالْمَعْروفِ، والنَّهْيُ عنِ الْمُنْكَرِ
Dari Abu Sa’id al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi Saw. beliau bersabda: “Jauhilah dari duduk-duduk di jalan !. Para sahabat berkata: “wahai Rasulullah, kegiatan kami duduk (di jalan) berkumpul ya hanya (di pinggir jalan) itu. Kami bisa bercengkerama saat itu. Rasulullah Saw. lalu bersabda: “Kalau kalian memang sulit berpindah dari berkumpul (seperti itu), maka berikan kepada jalanan itu haknya.” Para sahabat bertanya lagi: “Apa hak dari jalan itu wahai Rasulullah ? » Rasul menjawab : « menundukkan pandangan, tidak menyakiti, membalas salam, menyampaikan kebaikan, melarang kemungkaran. »
Hadis diatas statusnya Muttafaqun ‘alaihi, yang berarti hadis tersebut baik dalam Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim sama-sama bersumber riwayatnya dari sahabat Nabi yang sama, yaitu Abi Sa’id al-Khudri. Hadis ini juga diriwayatkan oleh Sunan Abu Dawud, Musnad Ahmad, hingga as-Sunan al-Kubra karya al-Baihaqi. Menarik juga untuk menyebutkan disini, bagaimana para ulama hadis secara tersirat memberikan «interpretasinya » terhadap makna hadis diatas lewat penamaan bab-babnya. Misalkan, al-Bukhari meletakkannya dalam bab (al-Kitab) al-Mazhalim wa al-Ghasb; Shahih Muslim dalam bab al-Libas wa az-Ziinah, Sunan Abu Dawud dalam kitab al-Adab (etika), dan Sunan al-Kubra al-Baihaqi dalam kitab Adaab al-Qaadhi (etika-etika seorang Hakim) dan an-Nikah.
Pesan Hadis
Kalau kita lihat dari hadis diatas, kita melihat ada dialog yang intens antara Nabi Saw. dengan para sahabatnya.
Nabi Saw. memulai dengan pernyataan dengan meminta para sahabat untuk menjauhi perilaku duduk-duduk di pinggir jalan. Syaikh Musa Syahin Lasyin dalam syarah-nya terhadap Shahih Muslim, Fath al-Mun’im Syarh Shahih Muslim menggambarkan bagaimana kondisi rumah masyarakat Arab pada waktu. Rumah orang-orang Arab dahulu ada jarak yang cukup lebar dari satu rumah dengan yang lain. Bahkan, banyak juga yang tidak memiliki pintu. Sebagian masyarakat Arab bahkan memiliki sejenis “bangunan yang tinggi sedikit, seperti tinggi mimbar dan cukup untuk duduk-duduk” disisi rumah.
Menurut Syaikh Musa Syahin, hadis ini menjadi gambaran bahwa ada perilaku yang sudah mengakar di masyarakat Arab waktu itu yang duduk-duduk di sisi rumah yang otomatis melihat orang berlalu lalang. Kebiasaan duduk-duduk ini boleh jadi diakibatkan tidak terlalu sibuknya mereka bekerja. Sehingga ketika waktu kosong mereka habiskan dengan berkumpul “nongkrong” di pinggir jalan. Kebiasaan ini kemudian menimbulkan ekses buruk bagi orang-orang yang lewat pada saat itu, meski tidak selalu. Karena itulah Nabi Saw. kemudian bersabda, “jauhilah dari duduk-duduk di pinggir jalan.
”Namun, para sahabat tersebut kemudian berusaha menjelaskan bahwa tidak mungkin mereka meninggalkan kebiasaan duduk-duduk tersebut secara total, karena mereka butuh bercengkerama dengan sesama teman-teman. Mungkin karena ini juga, sebagian ahli hadis menggolongkan hadis ini ke dalam Bab Adab al-Qadhi, bab etika Hakim, dimana Nabi Saw. sebagai perwujudukan seorang Hakim perlu mendengarkan keterangan lebih jauh dari yang “tertuduh” untuk membela diri. Ada riwayat dari Abu Tholhah, bahwa sebagian mereka ada juga yang pembicaraaannya bermanfaat di sana, termasuk saling mengingatkan tentang ajaran agama.
Mendengar respon tersebut, Nabi Saw. kemudian melunak, sambil mengatakan, “kalau kalian enggan, berikanlah jalan itu haknya.” Kemudian, ketika Nabi Saw. ditanya tentang apa itu hak jalan, beliau menjawabnya dengan aneka etika sesama manusia, seperti “menundukkan pandangan (kepada lawa jenis); tidak menyakiti fisik maupun non fisik kepada orang yang lewat; membalas salam, memerintahkan kebaikan, dan mencegah kemungkaran. Sebagian riwayat dan yang menambahkan “tolonglah orang yang sedang sedih” dan “tunjukkan jalan ke orang yang tersesat.
Imam An-Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim menyatakan hadis ini seperti hadis pamungkas (min al-Ahadith al-Jami’ah) yang memuat aneka hukum yang jelas. Bahkan, Imam An-NAwawi juga menjelaskan bahkan membuat jalan menjadi sempit dan susah dilewati itu dilarang. Atau, misalnya yang duduk-duduk itu adalah orang yang ditakuti oleh orang-orang yang lewat, keberadaannya menjadi haram untuk berada di situ apalagi jika tidak ada lagi jalur lain.
Seperti digambarkan dalam penamaan babnya, sebenarnya kita bisa mengambil banyak pelajaran dari hadis diatas. Misalnya, kesunahan menjawab salam, larangan menggunjing orang, sampai menjaga kondisi lingkungan agar selalu aman. Ini juga berkaitan dengan hadis lain misalnya tentang hak muslim terhadap muslim yang lain,
حَقُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ سِتٌّ: إِذَا لَقِيتَهُ فَسَلِّمْ عَلَيْهِ، وإِذَا دَعَاكَ فَأَجِبْهُ، وإِذَا اسْتَنْصَحَكَ فَانْصَحْهُ، وإِذَا عَطَسَ فَحَمِدَ اللَّهَ فَسَمِّتْهُ، وإِذَا مَرِضَ فَعُدْهُ، وإِذَا مَاتَ فَاتْبَعْهُ
Ada enam hak orang muslim terhadap saudaranya sesama muslim, jika engkau bertemu maka ucapkanlah salam, jika dia memanggil jawablah, jika dia meminta nasihat darimu, maka berilah nasihat, jika dia bersin, ucapkanlah hamdalah dan ingatkan ia, jika ia sakit jenguklah, dan jika ia mangkat, ikutilah jenazahnya hingga dikuburkan.
Hadis diatas juga tidak bisa dijadikan dalil mutlak keharaman duduk-duduk di pinggir jalan. Namun hadis diatas hanya punya pesan sadd ad-dzaraai’ (mencegah terjadinya dampak-dampak negatif). Namun, status hukum duduk-duduk atau “nongkrong” di pinggir jalan ini kembali kepada apa tujuan dilakukannya. Jika sudah ada niat buruk, atau kemudian muncul perilaku yang mengganggu, tentu hukumnya haram. Wallahu A’lam.
0 Comments:
Posting Komentar
Biasakan berkomentar dengan ilmu bukan dengan hawa nafsu