Minggu, 24 Maret 2024

 HADITS KETIGAPULUH SEMBILAN




عَنِ ابْنِ عَبَّاس رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا : أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى الله عليه وسلم قَالَ : إِنَّ اللهَ تَجَاوَزَ لِيْ عَنْ أُمَّتِي : الْخَطَأُ وَالنِّسْيَانُ وَمَا اسْتُكْرِهُوا عَلَيْهِ

[حديث حسن رواه ابن ماجة والبيهقي وغيرهما]

Terjemah hadits / ترجمة الحديث :

Dari Ibnu Abbas radiallahuanhuma : Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda : “Sesungguhnya Allah ta’ala memafkan umatku karena aku (disebabkan beberapa hal) : Kesalahan, lupa dan segala sesuatu yang dipaksa“

(Hadits hasan diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan Baihaqi dan lainnya)

Hadist ini menjelaskan betapa luasnya rahmat Allah kepada kita. kita sebagai hambanya selalu diberi kemudahan oleh Allah, dan tidaklah Allah menurunkan sebuah cobaan kepada hamba melainkan sesuai kesanggupannya. sebagaimana apa yang tampak dan apa yang disembunyikan maka semua Allah akan hisab.

Sehingga ada kaitanya dengan ayat berikut :

“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (Mereka berdoa): “Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya. Beri maaflah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah Penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir”. [Qs. Al-Baqarah 286]

Dan perlu kita ketahui diantara watak dari kaum bani isroil adalah :

  • mereka kaum Yahudi tidaklah pernah ridho dengan kita umat Islam sampai kita mau melepaskan agama kita.
  • Orang Yahudi selalu menyembunyikan kebenaran
  • Tokoh agama Yahudi sangat sulit menerima kebenaran Islam

Silahkan Merujuk [Kesini]

KISAH SAHABAT NABI

  • MUAWIYAH BIN HAKAM AS-SULAMI rodhiyallahu’anhu

disebutkan dalam suatu riwayat dari Muawiyah bin al-Hakam as-Sulami, “Aku dan para shahabat sholat bersama Rasulullah. Tiba-tiba ada seseorang dari jamaah yang bersin. Lantas kukatakan: “Yarhamukallah!” Maka kudapati semua mata mengarahkan pandangannya padaku. Kukatakan: ”Ada apa dengan kalian ini”? Ketika mereka melihatku berbicara dalam sholat, mereka memukulkan tangannya pada paha-paha merekapun (sebagai isyarat untuk diam). Tatkala mereka tampak diam tanpa bicara, maka aku pun diam.

Setelah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam selesai shalat, maka kudapati tak ada seorang pengajarpun yang lebih baik daripada beliau. Ayah ibuku sebagai jaminan, beliau tidak menghardik, memukul atau mencelaku. Bahkan dengan sabar beliau katakan: “Kita sedang shalat, padanya tidak boleh ada perkataan manusia. Sesungguhnya dalam sholat hanyalah untuk bertasbih, bertakbir dan bacaan al-Qur’an”.(Diriwayatkan oleh Muslim dalam shahihnya).

Pada kisah berikut sahabat nabi ini telah mengetahui ilmu tentang ketika orang bersin maka dia ucapkan Alhamdulillah maka yang mendengar mengucapkan Yarhamakullah.

Seperti yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda,

“Sesungguhnya Allah menyukai bersin dan benci terhadap menguap. Maka apabila ia bersin, hendaklah ia memuji Allah (dengan mengucapkan ‘Alhamdullillah’). Dan merupakan kewajiban bagi setiap muslim yang mendengarnya untuk mendoakannya. Adapun menguap, maka ia berasal dari setan. Hendaklah setiap muslim berusaha untuk menahannya sebisa mungkin, dan apabila mengeluarkan suara ‘ha’, maka saat itu setan menertawakannya.” (HR Bukhari)

Tentu, sang Muawiyah ibn Al-Hakam ini belum mengetahui bahwa berbicara dalam sholat tidak boleh. maka Apakah kita katakan Berdosa ?

Na’am jawabanya tidak, sebab ia belum mengetahui keilmuan nya dan seseorang yang belum mengetahui, lupa serta paksaan maka ia tidak dikenakan Dosa

  • AMAR BIN YASIR

Siksaan dan rintangan yang dilancarkan oleh orang-orang kafir Quraisy kepada keluarga Ammar bin Yasir rodhiallohu anhu bertubi-tubi, sehingga Nabi Muhammad sholallohu alaihi wasallam ketika melewati mereka yang sedang disiksa merasa sedih dan tidak memiliki kekuatan untuk menolongnya. Rosululloh sholallohu alaihi wasallam pun mengabarkan kepada Ammar bin Yasir rodhiallohu anhu dan keluarganya dengan bersabda:

صَبْرًا يَا آلَ يَاسِرٍ فَإِنَّ مَوْعِدَكُمُ الْجَنَّةُ

“Bersabar wahai Keluarga Yasir, sesungguhnya surga adalah tempat kembali kalian.”

Dikisahkan oleh Amr bin Maimun rodhiallohu anhu: orang-orang musyrikin menyiksa Ammar bin Yasir rodhiallohu anhu dengan api yang menyala-nyala. Di pertengahan kejadian itu, Nabi Muhammad sholallohu alaihi wasallam melawatinya, beliau mengusap kepalanya denga tangan, dan berdoa:

يَا نَارُ كُونِيْ بَرْداً وَسَلاَماً عَلَى عَمَّارٍ كَمَا كُنْتِ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ

“Wahai api, jadilah engkau dingin dan menyelamatkan pada Ammar, sebagaimana dahulu engkau (bersikap) pada Ibrohim.”

Sabar dalam memegang kebenaran sangat sulit, akan tetapi pahala yang dijanjikan bagi orang yang sabar jauh lebih besar dan berharga, sehingga rintangan yang menghalangi keimanan seakan tak menyakitkan. Kalau kita amati dan cermati, sungguh keluarga Ammar bin Yasir rodhiallohu anhu mendapatkan anugerah besar yang berupa surga, dengan bersabar dari rintangan kaum Musyrikin selama di Makkah sebelum hijrah ke Madinah, subhanalloh.. , semoga kesabaran keluarga Ammar bin Yasir rodhiallohu anhu menjadi teladan dalam kehidupan kita semua, amin, Wallohu ta’ala a’lam….

Amar bin Yasir mengingkari dengan mengatakan bahwa ia mengingkari tuhan muhammad dan ia mengimani tuhan orang kafir namun hanya dilisan dan hatinya tidak beriman. Maka hal ini kita katakan yasir tidaklah berdosa sebagaimana setelah Yasir menangis dan menuju kerosulullah maka beliau katakan yasir belum kafir..

FAIDAH HADIST :

  • Luasnya Rahmat Allah dan Maha Lembutnya Allah Subhanahu wa ta’ala
  • Semua Keharaman dalam ibadah karena Kebodohan, Lupa serta paksaan maka Allah ampuni sedangkan
  • Jika bberkaitan dengan sesama makhluk maka harus dimintakan maaf darinya.

 

PENULIS : YOGA PRATAMA
Artikel pintuilmuyoga.wordpress.com

 [Fatwa- Perbedaan Penentuan Hari Raya Hendaknya Dikembalikan pada Keputusan Pemerintah]

Fatawa no. 388

Pertanyaan:


Bagaimana menurut Islam mengenai perbedaan kaum muslimin dalam berhari raya Idul Fitri dan Idul Adha? Mengingat jika salah dalam menentukan hal ini, kita akan berpuasa pada hari yang terlarang (yaitu hari ‘ied) atau akan berhari raya pada hari yang sebenarnya wajib untuk berpuasa. Kami mengharapkan jawaban yang memuaskan mengenai masalah yang krusial ini sehingga bisa jadi hujah (argumen) bagi kami di hadapan Allah. Apabila dalam penentuan hari raya atau puasa ini terdapat perselisihan, ini bisa terjadi ada perbedaan dua sampai tiga hari. Jika agama Islam ini ingin menyelesaikan perselisihan ini, apa jalan keluar yang tepat untuk menyatukan hari raya kaum muslimin?

Jawaban:

Para ulama telah sepakat bahwa terbitnya hilal di setiap tempat itu bisa berbeda-beda dan hal ini dapat diketahui dengan pasti secara inderawi dan logika. Akan tetapi, para ulama berselisih pendapat mengenai teranggapnya atau tidak hilal di tempat lain dalam menentukan awal dan akhir Ramadhan. Dalam masalah ini ada dua pendapat. Pendapat pertama adalah yang menyatakan teranggapnya hilal di tempat lain dalam penentuan awal dan akhir Ramadhan walaupun berbeda matholi’ (wilayah terbitnya hilal). Pendapat kedua adalah yang menyatakan tidak teranggapnya hilal di tempat lain. Masing-masing dari dua kubu ini memiliki dalil dari Al Kitab, As Sunnah dan Qiyas. Dan terkadang dalil yang digunakan oleh kedua kubu adalah dalil yang sama. Sebagaimana mereka sama-sama berdalil dengan firman Allah,

فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ

Karena itu, barangsiapa di antara kamu menyaksikan bulan (di negeri tempat tinggalnya), maka hendaklah ia berpuasa pada bulan tersebut.” (Qs. Al Baqarah [2]: 185)

Begitu juga firman Allah:

يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْأَهِلَّةِ قُلْ هِيَ مَوَاقِيتُ لِلنَّاسِ

Mereka bertanya kepadamu tentang hilal (bulan sabit). Katakanlah: “Hilal (bulan sabit) itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji.” (Qs. Al Baqarah [2]: 189)

Mereka juga sama-sama berdalil dengan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ ، وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ

Berpuasalah karena melihat hilal, begitu pula berhari rayalah karena melihatnya.” (HR. Bukhari)

Perbedaan pendapat menjadi dua kubu semacam ini sebenarnya terjadi karena adanya perbedaan dalam memahami dalil. Kesimpulannya bahwa dalam masalah ini masih ada kelapangan untuk berijtihad. Oleh karena itu, para pakar fikih terus berselisih pendapat dalam masalah ini dari dahulu hingga saat ini.

Tidak mengapa jika penduduk suatu negeri yang tidak melihat hilal pada malam ke-30, mereka mengambil ru’yah negeri yang berbeda matholi’ (beda wilayah terbitnya hilal). Namun, jika di negeri tersebut terjadi perselisihan pendapat, maka hendaklah dikembalikan pada keputusan penguasa muslim di negeri tersebutJika penguasa tersebut memilih suatu pendapat, hilanglah perselisihan yang ada dan setiap muslim di negeri tersebut wajib mengikuti pendapatnya. Namun, jika penguasa di negeri tersebut bukanlah muslim, hendaklah dia mengambil pendapat majelis ulama di negeri tersebut. Hal ini semua dilakukan dalam rangka menyatukan kaum muslimin dalam berpuasa Ramadhan dan melaksanakan shalat ‘ied.

Semoga Allah memberi kita taufik. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.

Al Lajnah Ad Da’imah Lil Buhuts Al ‘Ilmiyah wal Ifta’

Anggota: Abdullah bin Mani’
Wakil Ketua: Abdullah bin Ghodyan
Ketua: Abdur Rozaq ‘Afifi

Itulah beberapa fatwa mengenai bagaimana sebaiknya kita berhari raya. Kesimpulan dari penjelasan di atas:

  1. Penentuan hari raya bukanlah urusan pribadi atau kelompok, sehingga keputusan mengenai hal ini dikembalikan kepada pemerintah dan jamaah kaum muslimin.
  2. Kita diperintahkan untuk melaksanakan puasa dan hari raya bersama dengan pemerintah dan jamaah kaum muslimin sehingga syi’ar Islam ini tampak dan tidak tampak perpecahan di tengah-tengah umat.
  3. Penentuan hari raya tidaklah tepat menggunakan ilmu hisab karena kita diperintahkan untuk menentukan awal bulan qomariyah dengan ru’yah.
  4. Hendaklah semua orang memahami bahwa masalah penentuan hari raya adalah masalah yang sudah terdapat perselisihan sejak dahulu di kalangan ulama, maka hendaklah perselisihan ini tidak memecah belah kaum muslimin. Hendaklah semuanya memahami bahwa penyatuan kalimat dan barisan adalah prinsip penting dalam agama ini

***

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Muroja’ah: Ustadz Aris Munandar
Artikel www.muslim.or.id


dapatkan update data terbaru di aplikasi

dapatkan update data terbaru di aplikasi
scan kode QR dan install di hp android

Keutamaan basmalah.... Bacalah

Yayasan Mabsuth Islam Mandiri

Yayasan Mabsuth Islam Mandiri

Al-Mabsuth

Categories


Berita Islam Hari Ini

Teknologi

Serba Serbi

Politik

Keluh Kesah Nabi Zakaria

Lahdhoh

HayyaAlasSholah

HayyaAlasSholah

Jadwal Shalat


jadwal-sholat

sekilas

Ustdz Bilal Bajri

Ustadz Fuad Baswedan

Rahasia dibalik Istigfar

Ustad Zulfi Askar

(Allah Yarham) Ust Lutfi YusufDegel

Ustad Azhar Seff

Dhoef

Flag Counter

Usaha dan kreasi

AHLAN WASAHLAN

AHLAN WASAHLAN

Popular Posts

Gisoh wa Rahat