YAYASAN MABSUTH ISLAM MANDIRI

ALUMNI PESANTREN AL-IRSYAD TENGARAN SALATIGA
facebook tweeter google you tube rss
  • Beranda

Membangun Istana Di Surga.

Membangun Umat Bersama Kami.

ada doa di balik hartamu.

First slide Next

Senin, 20 Desember 2021

Macam-macam Tauhid

  • Desember 20, 2021
  • YAYASAN MABSUTH ISLAM MANDIRI
  • No comments

 MACAM-MACAM TAUHID


Tauhid adalah mengesakan Allah Subhanahu wata'ala dengan beribadah kepadaNya semata.
 Ibadah merupakan tujuan penciptaan alam semesta ini. Allah Subhanahu wata'ala berfirman,

 "Dan Aku (Allah) tidah menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembahKu." (Adz-Dzaariyaat: 56)

Maksudnya, agar manusia dan jin mengesakan Allah Subhanahu wata'ala dalam beribadah dan mengkhususkan kepadaNya dalam berdo'a.

Tauhid berdasarkan Al-Qur'anul Karim ada tiga macam:

  1. TAUHID RUBUBIYAH

    Yaitu pengakuan bahwa sesungguhnya Allah Subhanahu wata'ala adalah Tuhan dan Maha Pencipta. Orang-orang kafir pun mengakui macam tauhid ini. Tetapi pengakuan tersebut tidak menjadikan mereka tergolong sebagai orang Islam. Allah Subhanahu wata'ala berfirman,

"Dan sungguh, jika Kamu bertanya kepada mereka, 'Siapakah yang menciptakan mereka', niscaya mereka menjawab,'Allah'." (Az-Zukhruf: 87)

Berbeda dengan orang-orang komunis, mereka mengingkari keberadaan Tuhan. Dengan demikian, mereka lebih kufur daripada orang-orang kafir jahiliyah.
 

  1. TAUHID ULUHIYAH

    Yaitu mengesakan Allah Subhanahu wata'ala dengan melakukan berbagai macam ibadah yang disyari'atkan. Seperti berdo'a, memohon pertolongan kepada Allah, thawaf, menyembelih binatang kurban, bernadzar dan berbagai ibadah lainnya.

    Macam tauhid inilah yang diingkari oleh orang-orang kafir. Dan ia pula yang menjadi sebab perseteruan dan pertentangan antara umat-umat terdahulu dengan para rasul mereka, sejak Nabi Nuh alaihissalam hingga diutusnya Nabi Muhammad Shallallahu'alaihi wasallam.

    Dalam banyak suratnya, Al-Qur'anul Karim sering memberikan anjuran soal tauhid uluhiyah ini. Di antaranya, agar setiap muslim berdo'a dan meminta hajat khusus kepada Allah semata.
    Dalam surat Al-Fatihah misalnya, Allah berfirman,
     "Hanya Kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah Kami memohon pertolongan." (Al-Fatihah: 5)

    Maksudnya, khusus kepadaMu (ya Allah) kami beribadah, hanya kepadaMu semata kami berdo'a dan kami sama sekali tidak memohon pertolongan kepada selainMu.
    Tauhid uluhiyah ini mencakup masalah berdo'a semata-mata hanya kepada Allah, mengambil hukum dari Al-Qur'an, dan tunduk berhukum kepada syari'at Allah. Semua itu terangkum dalam firman Allah,
    "Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku maka sembahlah Aku." 
    (Thaha: 14)
     
  2. TAUHID ASMA' WA SHIFAT

    Yaitu beriman terhadap segala apa yang terkandung dalam Al-Qur'anul Karim dan hadits shahih tentang sifat-sifat Allah yang berasal dari penyifatan Allah atas DzatNya atau penyifatan Rasulullah Subhanahu wata'ala.

    Beriman kepada sifat-sifat Allah tersebut harus secara benar, tanpa ta'wil (penafsiran), tahrif (penyimpangan), takyif (visualisasi, penggambaran), ta'thil (pembatalan, penafian), tamtsil (penyerupaan), tafwidh (penyerahan, seperti yang.banyak dipahami oleh manusia) .

    Misalnya tentang sifat al-istiwa ' (bersemayam di atas), an-nuzul (turun), al-yad (tangan), al-maji' (kedatangan) dan sifat-sifat lainnya, kita menerangkan semua sifat-sifat itu sesuai dengan keterangan ulama salaf. Al-istiwa' misalnya, menurut keterangan para tabi'in sebagaimana yang ada dalam Shahih Bukhari berarti al-'uluw wal irtifa' (tinggi dan berada di atas) sesuai dengan kebesaran dan keagungan Allah Shallallahu'alaihi wasallam. Allah berfirman,
    "Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat." (Asy-Syuura: 11)
    Maksud beriman kepada sifat-sifat Allah secara benar adalah dengan tanpa hal-hal berikut ini:
    1. Tahrif (penyimpangan): Memalingkan dan menyimpangkan zhahirnya (makna yang jelas tertangkap) ayat dan hadits-hadits shahih pada makna lain yang batil dan salah. Seperti istawa (bersemayam di tempat yang tinggi) diartikan istaula (menguasai).
       
    2. Ta'thil (pembatalan, penafian): Mengingkari sifat-sifat Allah dan menafikannya. Seperti Allah berada di atas langit, sebagian kelompok yang sesat mengatakan bahwa Allah berada di setiap tempat.
       
    3. Takyif (visualisasi, penggambaran): Menvisualisasikan sifat-sifat Allah. Misalnya dengan menggambarkan bahwa bersemayamnya Allah di atas 'Arsy itu begini dan begini. Bersemayamnya Allah di atas 'Arsy tidak serupa dengan bersemayamnya para makhluk, dan tak seorang pun yang mengetahui gambarannya kecuali Allah semata.
       
    4. Tamtsil (penyerupaan): Menyerupakan sifat-sifat Allah dengan sifat-sifat makhlukNya. Karena itu kita tidak boleh mengatakan, "Allah turun ke langit, sebagaimana turun kami ini". Hadits tentang nuzul-nya Allah (turunnya Allah) ada dalam riwayat Imam Muslim.
      Sebagian orang menisbatkan tasybih (penyerupaan) nuzul ini kepada Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Ini adalah bohong besar. Kami tidak menemukan keterangan tersebut dalam kitab-kitab beliau, justru sebaliknya, yang kami temukan adalah pendapat beliau yang menafikan tamtsil dan tasybih.
       
    5. Tafwidh (penyerahan): Menurut ulama salaf, tafwidh hanya pada al-kaif (hal, keadaan) tidak pada maknanya. Al-Istiwa' misalnya berarti al-'uluw (ketinggian), yang tak seorang pun mengetahui bagaimana dan seberapa ketinggian tersebut kecuali hanya Allah. Tafwidh (penyerahan): Menurut Mufawwidhah (orang-orang yang menganut paham tafwidh) adalah dalam masalah keadaan dan makna secara bersamaan. Pendapat ini bertentangan dengan apa yang diterangkan oleh ulama salaf seperti Ummu Salamah, Rabi'ah guru besar Imam Malik dan Imam Malik sendiri. Mereka semua sependapat bahwa, "Istiwa' (bersemayam di atas) itu jelas pengertiannya, bagaimana cara/keadaannya itu tidak diketahui, iman kepadanya adalah wajib dan bertanya tentangnya adalah bid'ah."

 

Read More

Senin, 06 Desember 2021

Jangan Nongkrong Kecuali

  • Desember 06, 2021
  • YAYASAN MABSUTH ISLAM MANDIRI
  • No comments

 BincangSyariah.Com – Sebagian masyarakat, khususnya muda-mudi mungkin masih memiliki kebiasaan duduk-duduk atau biasa disebut “nongkrong” di pinggir jalan. Sebagian melakukan itu kadang memang kondisi meniscayakan itu, misalnya mereka duduk di trotoar yang kadang di malam hari digunakan sebagian penjaja makanan atau minuman sebagai tempat duduk. Kadang ada juga yang melakukan “nongkrong” di pinggir jalan ini tanpa tujuan atau iseng. Kebiasaan duduk di


pinggir jalan ini kemudian disertai perilaku kurang baik, misalnya menggoda lawan jenis yang sedang lewat dan hal-hal buruk lainnya.

Tentang “nongkrong” di pinggir jalan ini, Nabi Muhammad Saw. pernah berpesan, yang diriwayatkan oleh Abu Sa’id al-Khudri radhiyallahu ‘anhu,

عنْ أَبِي سَعيدٍ الْخُدْرِيِّ t، عن النَّبِيِّ ﷺ قَالَ: إِيَّاكُم وَالْجُلُوسَ في الطُّرُقاتِ، فقَالُوا: يَا رسَولَ اللَّه، مَا لَنَا مِنْ مَجالِسنَا بُدٌّ، نَتحدَّثُ فِيهَا، فَقَالَ رسولُ اللَّه ﷺ: فَإِذَا أَبَيْتُمْ إِلَّا الْمَجْلِس فَأَعْطُوا الطَّريقَ حَقَّهُ، قالوا: ومَا حَقُّ الطَّرِيقِ يَا رسولَ اللَّه؟ قَالَ: غَضُّ الْبَصَر، وكَفُّ الأَذَى، ورَدُّ السَّلامِ، وَالأَمْرُ بالْمَعْروفِ، والنَّهْيُ عنِ الْمُنْكَرِ

Dari Abu Sa’id al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi Saw. beliau bersabda: “Jauhilah dari duduk-duduk di jalan !. Para sahabat berkata: “wahai Rasulullah, kegiatan kami duduk (di jalan) berkumpul ya hanya (di pinggir jalan) itu. Kami bisa bercengkerama saat itu. Rasulullah Saw. lalu bersabda: “Kalau kalian memang sulit berpindah dari berkumpul (seperti itu), maka berikan kepada jalanan itu haknya.” Para sahabat bertanya lagi: “Apa hak dari jalan itu wahai Rasulullah ? » Rasul menjawab : « menundukkan pandangan, tidak menyakiti, membalas salam, menyampaikan kebaikan, melarang kemungkaran. »

Hadis diatas statusnya Muttafaqun ‘alaihi, yang berarti hadis tersebut baik dalam Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim sama-sama bersumber riwayatnya dari sahabat Nabi yang sama, yaitu Abi Sa’id al-Khudri. Hadis ini juga diriwayatkan oleh Sunan Abu Dawud, Musnad Ahmad, hingga as-Sunan al-Kubra karya al-Baihaqi. Menarik juga untuk menyebutkan disini, bagaimana para ulama hadis secara tersirat memberikan «interpretasinya » terhadap makna hadis diatas lewat penamaan bab-babnya. Misalkan, al-Bukhari meletakkannya dalam bab (al-Kitab) al-Mazhalim wa al-Ghasb; Shahih Muslim dalam bab al-Libas wa az-Ziinah, Sunan Abu Dawud dalam kitab al-Adab (etika), dan Sunan al-Kubra al-Baihaqi dalam kitab Adaab al-Qaadhi (etika-etika seorang Hakim) dan an-Nikah.

Pesan Hadis

Kalau kita lihat dari hadis diatas, kita melihat ada dialog yang intens antara Nabi Saw. dengan para sahabatnya.


Nabi Saw. memulai dengan pernyataan dengan meminta para sahabat untuk menjauhi perilaku duduk-duduk di pinggir jalan. Syaikh Musa Syahin Lasyin dalam syarah-nya terhadap Shahih Muslim, Fath al-Mun’im Syarh Shahih Muslim menggambarkan bagaimana kondisi rumah masyarakat Arab pada waktu. Rumah orang-orang Arab dahulu ada jarak yang cukup lebar dari satu rumah dengan yang lain. Bahkan, banyak juga yang tidak memiliki pintu. Sebagian masyarakat Arab bahkan memiliki sejenis “bangunan yang tinggi sedikit, seperti tinggi mimbar dan cukup untuk duduk-duduk” disisi rumah.

Menurut Syaikh Musa Syahin, hadis ini menjadi gambaran bahwa ada perilaku yang sudah mengakar di masyarakat Arab waktu itu yang duduk-duduk di sisi rumah yang otomatis melihat orang berlalu lalang. Kebiasaan duduk-duduk ini boleh jadi diakibatkan tidak terlalu sibuknya mereka bekerja. Sehingga ketika waktu kosong mereka habiskan dengan berkumpul “nongkrong” di pinggir jalan. Kebiasaan ini kemudian menimbulkan ekses buruk bagi orang-orang yang lewat pada saat itu, meski tidak selalu. Karena itulah Nabi Saw. kemudian bersabda, “jauhilah dari duduk-duduk di pinggir jalan.

”Namun, para sahabat tersebut kemudian berusaha menjelaskan bahwa tidak mungkin mereka meninggalkan kebiasaan duduk-duduk tersebut secara total, karena mereka butuh bercengkerama dengan sesama teman-teman. Mungkin karena ini juga, sebagian ahli hadis menggolongkan hadis ini ke dalam Bab Adab al-Qadhi, bab etika Hakim, dimana Nabi Saw. sebagai perwujudukan seorang Hakim perlu mendengarkan keterangan lebih jauh dari yang “tertuduh” untuk membela diri. Ada riwayat dari Abu Tholhah, bahwa sebagian mereka ada juga yang pembicaraaannya bermanfaat di sana, termasuk saling mengingatkan tentang ajaran agama.

Mendengar respon tersebut, Nabi Saw. kemudian melunak, sambil mengatakan, “kalau kalian enggan, berikanlah jalan itu haknya.” Kemudian, ketika Nabi Saw. ditanya tentang apa itu hak jalan, beliau menjawabnya dengan aneka etika sesama manusia, seperti “menundukkan pandangan (kepada lawa jenis); tidak menyakiti fisik maupun non fisik kepada orang yang lewat; membalas salam, memerintahkan kebaikan, dan mencegah kemungkaran. Sebagian riwayat dan yang menambahkan “tolonglah orang yang sedang sedih” dan “tunjukkan jalan ke orang yang tersesat.

Imam An-Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim menyatakan hadis ini seperti hadis pamungkas (min al-Ahadith al-Jami’ah) yang memuat aneka hukum yang jelas. Bahkan, Imam An-NAwawi juga menjelaskan bahkan membuat jalan menjadi sempit dan susah dilewati itu dilarang. Atau, misalnya yang duduk-duduk itu adalah orang yang ditakuti oleh orang-orang yang lewat, keberadaannya menjadi haram untuk berada di situ apalagi jika tidak ada lagi jalur lain.

Seperti digambarkan dalam penamaan babnya, sebenarnya kita bisa mengambil banyak pelajaran dari hadis diatas. Misalnya, kesunahan menjawab salam, larangan menggunjing orang, sampai menjaga kondisi lingkungan agar selalu aman. Ini juga berkaitan dengan hadis lain misalnya tentang hak muslim terhadap muslim yang lain,

حَقُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ سِتٌّ: إِذَا لَقِيتَهُ فَسَلِّمْ عَلَيْهِ، وإِذَا دَعَاكَ فَأَجِبْهُ، وإِذَا اسْتَنْصَحَكَ فَانْصَحْهُ، وإِذَا عَطَسَ فَحَمِدَ اللَّهَ فَسَمِّتْهُ، وإِذَا مَرِضَ فَعُدْهُ، وإِذَا مَاتَ فَاتْبَعْهُ

Ada enam hak orang muslim terhadap saudaranya sesama muslim, jika engkau bertemu maka ucapkanlah salam, jika dia memanggil jawablah, jika dia meminta nasihat darimu, maka berilah nasihat, jika dia bersin, ucapkanlah hamdalah dan ingatkan ia, jika ia sakit jenguklah, dan jika ia mangkat, ikutilah jenazahnya hingga dikuburkan.

Hadis diatas juga tidak bisa dijadikan dalil mutlak keharaman duduk-duduk di pinggir jalan. Namun hadis diatas hanya punya pesan sadd ad-dzaraai’ (mencegah terjadinya dampak-dampak negatif). Namun, status hukum duduk-duduk atau “nongkrong” di pinggir jalan ini kembali kepada apa tujuan dilakukannya. Jika sudah ada niat buruk, atau kemudian muncul perilaku yang mengganggu, tentu hukumnya haram.  Wallahu A’lam.






Read More

← Postingan Lebih Baru Beranda Postingan Lama →
Langganan: Postingan (Atom)

dapatkan update data terbaru di aplikasi

dapatkan update data terbaru di aplikasi
scan kode QR dan install di hp android

Keutamaan basmalah.... Bacalah

Waktu

Get this Islamic Clock!

Yayasan Mabsuth Islam Mandiri

Yayasan Mabsuth Islam Mandiri

Al-Mabsuth

Categories

  • Mas'ud Jawas (9)

Berita Islam Hari Ini

Memuat...

Teknologi

Memuat...

Serba Serbi

Memuat...

Politik

Memuat...

Keluh Kesah Nabi Zakaria

Lahdhoh

HayyaAlasSholah

HayyaAlasSholah

Jadwal Shalat


jadwal-sholat

sekilas

Ustdz Bilal Bajri

Ustadz Fuad Baswedan

Rahasia dibalik Istigfar

Ustad Zulfi Askar

(Allah Yarham) Ust Lutfi YusufDegel

Ustad Azhar Seff

Dhoef

Flag Counter

Usaha dan kreasi

Memuat...

AHLAN WASAHLAN

AHLAN WASAHLAN

Pernak Pernik

Software Islami
10 aplikasi islami android
TV islam Live Streaming
Konsultasi Syari'ah

Popular Posts

Blog Archive

  • Agustus 2020 (11)
  • September 2020 (3)
  • Oktober 2020 (6)
  • November 2020 (7)
  • Desember 2020 (3)
  • Januari 2021 (1)
  • Maret 2021 (1)
  • Mei 2021 (1)
  • Juni 2021 (1)
  • Agustus 2021 (1)
  • September 2021 (1)
  • Desember 2021 (2)
  • Januari 2022 (2)
  • Februari 2022 (4)
  • April 2023 (1)
  • Maret 2024 (2)
  • September 2024 (5)
  • Oktober 2024 (8)
  • November 2024 (3)

Gisoh wa Rahat

Memuat...

Blog Archive

  • Agustus (11)
  • September (3)
  • Oktober (6)
  • November (7)
  • Desember (3)
  • Januari (1)
  • Maret (1)
  • Mei (1)
  • Juni (1)
  • Agustus (1)
  • September (1)
  • Desember (2)
  • Januari (2)
  • Februari (4)
  • April (1)
  • Maret (2)
  • September (5)
  • Oktober (8)
  • November (3)

Syukron 'Ala Ihtimamikum


ALEK THEBE

SYUKRI JAWAS

FAISOL BASUMBUL

HASAN HAIKAL

NADIR GHORNUK

NABIL ATSIQOH

UST ZULFI ASKAR, Lc

FAHMI DEGEL

MAS'UD JAWAS

GRUP WA JAMAAH MABSUTH





Blogroll

YAYASAN MABSUTH ISLAM MANDIRI

Yayasan ini adalah yayasan yang dibentuk atas dasar keprihatinan kami, alumni pesantren Al-irsyad Tengaran salatiga atas berkembangnya lembaga pendidikan atau sekolah-sekolah islam bahkan pesantren sekalipun yang cenderung mahal dan terkesan pendidikan berkwalitas hanya dimiliki kalangangan berduit saja, sementara untuk golongan akar rumput mendambakan sekolah berkwalitas hanya isapan jempol saja, dengan dasar inilah kami mencoba menghadirkan LEMBAGA PENDIDIKAN, DAKWAH, SOSIAL YANG MAMPU DIJANGKAU SEMUA KALANGAN

Almamater

Almamater

Labels

  • Mas'ud Jawas
Copyright © YAYASAN MABSUTH ISLAM MANDIRI | Powered by Blogger
Design by ThemePix.com | Blogger Theme by Lasantha - Premium Blogger Templates